CaraMembedakan Keris Semar Mesem Yang Asli Dan Yang Palsu Bertuah Ilmu Pelet Jimat Keris Semar Kuning salah satu benda bertuah yang tergolong pusaka gaib langka. Energi yang terdapat dalam Ageman ini adalah murni bersumber berasal dari karunia Tuhan yang Maha Esa, yang sesudah itu diolah oleh Dewi Gayatri kemampuan yang beliau miliki. manakala
Karenakelangkaannya, pohon cendana tidak diizinkan untuk ditebang atau dipanen oleh individu. Hanya negara yang memberikan izin khusus kepada pejabat yang kemudian dapat menebang pohon cendana. MANFAAT POHON CENDANA : Kayunya digunakan sebagai rempah-rempah, bahan dupa, aromaterapi, campuran parfum, serta gagang sangkur dan keris bertuah.
CiriCiri Kayu Stigi Asli, Bertuah Perlindungan hingga Kekayaan. Ciri Ciri Kayu Stigi Asli, Bertuah Perlindungan hingga Kekayaan - Kayu stigi secara alamiah sudah mengandung energi tuah sejak Allah SWT menciptakan alam semesta beserta isinya. Kayu stigi akan memiliki energi yang semakin kuat jika didoakan, salah satunya dengan kalimat dzikir.
PusakaDunia - Ciri-Ciri Keris Omyang Jimbe Asli Berkhasiat Ciri-Ciri Keris Omyang Jimbe Asli Berkhasiat memiliki sosok putut kembar pada gandik atau sorsoran kerisnya, Kontak Kami 081222886456
CaraMengetes Keris Omyang Jimbe Asli, Bertuah atau Tidak? - Keris Omyang Jimbe, sebilah keris yang melegenda ini sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Keris ini mulai dikenal dengan tuah kekayaan, kesuksesan dan kejayaan ketika memasuki masa kerajaan Majapahit. Kemudian keris ini terkenal dengan nama Keris Omyang Jimbe Majapahit. Seiring
cara berbicara kepada setiap orang dalam setiap situasi. Keris Kiai Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro. Fernando Randy/Historia. Kembalinya keris Kiai Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro ke Indonesia dari Belanda memunculkan perdebatan. Banyak yang mempertanyakan kesahihan keris itu lantaran keris itu ber-dhapur Nagasasra bukan Nogo Siluman. Namun, perdebatan soal itu tampaknya tak perlu diperpanjang lagi. Pasalnya, menurut Boedhi Adhitya, pemerhati keris dari Paheman Memetri Wesi Aji Pametri Wiji, organisasi pecinta budaya keris yang didirikan di Yogyakarta, persoalan nama keris dan nama dhapur keris seharusnya dipisahkan. Nama dhapur adalah nama bentuk keris. Nama ini diberikan sesuai dengan ciri-ciri bentuk yang ada pada sebilah keris. Utamanya ditentukan dari lurus atau jumlah lekukan pada bilah keris luk. Pun dari ragam ricikan yang dimiliki. “Ricikan adalah detail hiasan bilah. Jumlah detail ricikan ini ada sekira 25 lebih, namun tidak semuanya ada dalam sebilah keris. Ada yang hanya punya dua ricikan, lima, dan seterusnya,” kata Boedhi kepada Historia. Sementara nama keris atau nama gelarnya adalah nama spesifik yang diberikan pemilik kepada sebilah keris. Nama, menurut Boedhi, bisa berganti-ganti sesuai kehendak pemilik. “Misal penggemar ayam aduan punya seekor ayam jago bangkok, lalu dia beri nama Si Pelor, karena pukulannya yang cepat. Maka dalam istilah perkerisan, dapat kita ibaratkan ayam tersebut adalah Kiai Pelor, dhapur-nya Jago Bangkok. Nama Si Pelor dapat diganti, sedangkan ras Ayam Bangkok sudah baku sejak lahir, sulit diubah,” jelas Boedhi. Karenanya, menurut Boedhi, keris Diponegoro dengan nama gelar Kiai Nogo Siluman yang memiliki dhapur Nagasasra itu tak perlu lagi menjadi perdebatan. Bisa saja Pangeran Diponegoro, menurut kehendaknya sendiri memberi nama Nogo Siluman pada kerisnya itu. “Memberi nama tentunya menurut kehendak mereka, tanpa mempertimbangkan pendapat kita,” ujar Boedhi. Dari sisi pakem atau aturannya, memberi nama keris berbeda dengan dhapur-nya, sama sekali bukan hal yang termasuk larangan. Selama ini pakem keris tertulis yang biasa dimuat dalam teks tradisional biasanya meliputi nama dhapur, nama ricikan, nama pamor dan ciri-ciri tangguh. Ada juga yang memuat cerita tentang mpu dan dhapur yang diciptakannya, serta pada masa kerajaan apa mpu itu hidup. Karenanya soal penamaan gelar keris yang berbeda dengan nama dhapur-nya bukan hal aneh dalam dunia perkerisan. Boedhi mencontohkan, ada salah satu pusaka utama Keraton Yogyakarta, yang bergelar Kanjeng Kiai Ageng Bethok. Dalam ilmu perkerisan, dhapur Bethok adalah keris yang bentuknya pendek dan lebar dengan gandik yang polos. Kenyataannya, Kanjeng Kiai Ageng Bethok ini justru tak berdhapur Bethok. “Kiai Bethok tidaklah ber-dhapur Bethok, dalam Babad Tanah Jawa disebutkan memiliki sekar kacang, padahal dhapur Bethok seharusnya tidak punya,” jelas Boedhi. Contoh lainnya, Kiai Crubuk. Ini adalah keris terkenal peninggalan Sunan Kalijaga. Saat ini ia tersimpan di Masjid Demak. Dalam ilmu keris, Crubuk adalah nama dhapur keris luk 7. Namun, Kiai Crubuk ternyata berbentuk lurus. “Hingga saat ini, sejauh yang saya ketahui, belum ada yang mempertanyakan keasliannya,” kata Boedhi. “Jadi Kiai Bethok tidak ber-dhapur Bethok, Kiai Crubuk tidak ber-dhapur Crubuk, Kiai Nogo Siluman tidak ber-dhapur Naga Siluman. Kiai Bethok dan Kiai Crubuk adalah pusaka terkenal turun temurun.” Nagasasra atau Nagaraja? Perdebatan di media sosial juga bukan hanya menyoal nama dhapur dan nama gelar keris yang tak sesuai. Persoalan nama dhapur keris ini pun mengundang perbedaan pendapat. Ada yang sepakat keris ini ber-dhapur Nagasasra. Ada pula yang kekeuh keris Kiai Nogo Siluman ini ber-dhapur Nagaraja. Boedhi menjelaskan kalau ada beragam sumber pengetahuan tentang keris. Ada yang berasal dari teks tradisi, seperti babad misalnya. Ada pula yang berupa pengetahuan lisan. Bahkan, ada yang istilahnya hanya lazim disebutkan dalam dunia perdagangan keris. “Istilahnya bahasa dagang, bahasa bakul,” katanya. “Ketiganya perlu dibedakan.” Contohnya, dalam dunia perdagangan keris, ada yang disebut Keris Sombro atau dhapur Sombro. Namun dalam naskah-naskah kuno, nama ini tak ditemukan. Yang tercatat adalah Mpu perempuan bernama Ni Mbok Sombro. “Dengan demikian, apa yang saat ini lazim disebut Keris Sombro sesungguhnya tidak ditunjang oleh teks-teks tradisi yang ada. Bisa jadi istilah ini adalah jargon’ yang belum terlalu lama dibuat,” kata Boedhi. Begitu pula dengan nama dhapur Nagaraja. Boedhi telah menelusuri lewat buku-buku dhapur yang ia miliki. Seperti daftar nama dhapur dalam Serat Centini, naskah Keraton Yogyakarta yang ada di Belanda, nama dhapur yang disusun oleh Pangeran Hadiwijaya, putra Paku Buwono X Surakarta, nama dhapur dalam buku Keris Jawa antara Mistik dan Nalar karya Haryono Haryo Guritno. “Tidak ditemukan nama dhapur Nagaraja. Belum saya ketemukan teks naskah lama yang mencantumkan nama dhapur itu,” ujar Boedhi menyimpulkan. “Dapat dikatakan ini adalah nama dhapur yang tidak pakem menurut tradisi, bila mengacu pada catatan tekstual.” Kendati begitu, memang dalam dunia perdagangan keris dhapur Nagasasra dan Nagaraja itu dibedakan. Perbedaannya pada bentuk tutup kepala yang digunakan oleh naga. Pada Nagasasra, tutup kepala seperti yang digunakan oleh wayang Adipati Karna. Sementara pada Nagaraja, tutup kepala berbentuk mahkota makutha, seperti yang digunakan wayang Kresna. “Karena bermahkota, sedangkan mahkota digunakan raja, maka naga bermahkota disebut naga raja, dalam perdagangan,” kata Boedhi. Sementara ciri lainnya relatif sama, yaitu keris ber-luk 13, atau 11, dan ada juga yang 9. Gandiknya berbentuk kepala naga. Lalu terdapat badan naga yang memanjang mengikuti bentuk bilah. “Perbedaan dengan dhapur Nogo Siluman adalah keris ber-dhapur Naga Siluman hanya bergandik kepala naga, tidak memiliki badan,” lanjut Boedhi. Layak Dimiliki Pangeran Diponegoro Lalu apakah mungkin keris indah dan mewah ini dimiliki oleh Pangeran Diponegoro? Kalau menurut Boedhi, keris yang baru saja dikembalikan itu sangat layak dimiliki oleh seseorang bergelar pangeran seperti Pangeran Diponegoro. “Beliau adalah seorang pangeran senior, putra tertua dari Hamengku Buwono III dari istri selir,” ucapnya. Sejauh yang dipahami Boedhi, belum ada Awisan Dalem atau Larangan Dalem yang membatasi seseorang memiliki dhapur keris tertentu. Kendati memang ada angger-angger atau undang-undang Awisan Ratu atau Larangan Dalem mengenai barang atau atribut pakaian yang terlarang dikenakan selain raja. “Namun demikian, ketika mpu membuat keris, pemilihan dhapur dan pamornya tentu tidak serampangan. Banyak hal yang dipertimbangkan, salah satunya kedudukan sosial pemesan,” ujar Boedhi. Kendati mungkin dimiliki oleh Pangeran Diponegoro, keris ini tak dibuat pada masa ia hidup. Menurut Boedhi, berdasarkan bentuknya, keris Kiai Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro itu dapat disebut sebagai tangguh atau gaya Mataram. “Kemungkinan dibuat zaman pemerintahan Sultan Agung,” ujarnya. Menurut tradisi, Boedhi menjelaskan, keris dhapur Nagasasra yang pertama kali dibuat diciptakan oleh Jaka Supa II, putra dari Jaka Supa I atau Pangeran Sedayu pada masa akhir pemerintahan Majapahit. Adalah hal umum dalam dunia perkerisan, bahwa dhapur yang dulu sudah pernah dibuat, dibuat kembali pada zaman yang berbeda. Dhapur Nagasasra juga begitu. Dhapur Nagasasra cukup populer. Ia lalu banyak dibuat, khususnya pada masa pemerintahan Mataram Islam. “Ciri bentuknya sama, tetapi gaya pembuatan setiap zaman berbeda-beda, sesuai selera pada masa itu. Pada prinsipnya, perbedaan ini terlihat pada gaya bentuk, teknik tempa dan bahan material yang digunakan,” jelas Boedhi. Maka tak heran jika saat ini keris ber-dhapur Nagasasra, yang mirip wujudnya dengan Kiai Nogo Siluman tidak hanya ada satu, yaitu keris yang baru saja kembali dari Belanda itu. Keris berciri serupa salah satunya menjadi koleksi Museum Nasional, Jakarta. “Museum-museum luar negeri juga ada. Kolektor-kolektor keris pun ada yang punya,” kata Boedhi. Mengenai bagaimana keris itu bisa sampai ke tangan Pangeran Diponegoro? Ini sayangnya tak ditemukan catatannya. “Kita hanya bisa berspekulasi,” ujarnya. Sejauh yang Boedhi ketahui, arsip Keraton Yogyakarta tidak mencatat keris-keris yang diberikan raja pada seseorang. Biasanya yang dicatat adalah asal-usul keris yang ada pada saat catatan itu dibuat. Ini disimpan di Gedong Pusaka Keraton. “Keris pusaka Keraton Yogya yang dikaitkan dengan Pangeran Diponegoro yang kerisnya masih tersimpan di Gedong Pusaka Keraton Yogyakarta hingga saat ini adalah Kanjeng Kiahi Wisa Bintulu,” kata Boedhi. Bisa jadi keris Kiai Nogo Siluman ini dimiliki Pangeran Diponegoro karena warisan, baik lewat garis ibu maupun bapak. Kalau bukan karena warisan, mungkin hasil pembelian, hadiah atau pemberian seseorang seperti tombaknya Kiai Cakra yang konon merupakan pemberian. Kalau tidak, keris itu bisa jadi tidak sengaja ia temukan. Namun, kemungkinannya kecil kalau keris itu adalah warisan. Pasalnya sebagai keris warisan tentu dihargai. “Bukan berarti Pangeran Diponegoro tidak menghargai keris ini ya. Tapi artinya bukan merupakan keris andalan,” kata Boedhi. Kerisnya yang paling berharga lebih mungkin adalah Kiai Bondoyudo yang ikut dikubur bersama jasad Diponegoro. Adapun soal perdebatan yang kini ramai di media sosial, menurut Boedhi, ini hal biasa di dunia perkerisan. Namun bagi Boedhi, siapapun yang mendebat harus punya bukti dan alasan yang kuat.
Sleman Sulit mencari empu keris di zaman sekarang. Begitu juga dengan keris yang indah serta bertuah. Maklum, pembuat keris klasik nyaris punah. Adalah Ki Empu Djeno Harumbrodjo yang bertahan dan bisa dibilang satu-satunya empu di Tanah Jawa. Kini, pria yang menurut silsilah adalah keturunan ke-15 Empu Supa pada zaman Kerajaan Majapahit abad XIII hanya mengukir dan mengisi keris. Sedangkan proses menempa dan menghasilkan keris diberikan pada putranya. Sebab, nyaris seluruh keahlian empu yang yang tinggal di desa Gatak, Sleman Yogyakarta 15 km barat Yogya itu, telah diwariskan pada putranya, Sungkowo. Keris bagi masyarakat Jawa tak sekadar alat perang. Sebilah keris menjadi ekspresi dari makna-makna keindahan sebuah karya seni. Keris juga memiliki makna tersendiri bagi kehidupan orang Jawa. Dahulu, hidup lelaki Jawa dianggap sempurna jika memiliki sebilah keris yang sesuai dengan kedudukannya di masyarakat. Keindahan keris terletak pada pamor atau guratan ornamen keperakan yang ada di bilahnya. Dalam khasanah keris terdapat ratusan bentuk pamor yang masing-masing memiliki nama tersendiri. Sekar Glagah, Beras Wutah, Ron Genduru atau Blarak Sineret adalah sebagian kecil nama pamor itu. Sedangkan keris dibuat dari besi, nikel, dan baja. Tak jarang pembuat keris menggunakan meteorit yang mengandung unsur titanium. Nilai keris semakin tinggi dan ada "isi"-nya jika dihasilkan dengan kemampuan batin. Sebilah keris awalnya hanyalah berupa potongan besi dan nikel yang disatukan melalui proses pembakaran dan penempaan. Besi dibakar membara dan memanjang. Hingga ukuran tertentu, besi panas itu dilipat menjadi dua. Selanjutnya ditempa kembali. Proses yang sama dikerjakan berulang hingga mencapai jumlah lipatan yang diinginkan. Semuanya tergantung model atau tangguh, sebutan yang lazim dikenal. Untuk memperoleh tangguh Blambangan, diperlukan sekitar 16 lipatan. Sedangkan tangguh Mataram membutuhkan 256 lipatan. Tangguh Sendang Sedayu harus terdiri dari lipatan. Setelah mencapai jumlah yang diinginkan, besi tempaan itu disisipkan sebilah baja sebagai penguat. Membuat keris klasik memang lama dan harus konsentrasi penuh sambil melakukan puasa penuh. Untuk memproduksi keris seperti itu bisa memakan arang kayu jati sekitar 50 karung, besi 12 kg, setengah kilogram baja, dan 100 gram pamor. Setelah menjadi keris, beratnya hanya sekitar satu kilogram karena menyusut akibat pemanasan dan penempaan tadi. Selanjutnya, lempengan dibentuk sesuai keris yang diinginkan. Pada dasarnya, keris memiliki bentuk lurus atau berkelok yang dikenal dengan istilah keris Luk. Empu Djeno kerap turun tangan pada tahap pengikiran untuk mendapatkan guratan-guratan besi nikel bakal pamor. Sebab, untuk itu diperlukan kejelian. Jika tak hati-hati, pamor akan hilang terkikis. Keindahan keris akan kentara setelah dibasuh larutan arsenikum yang dicampur jeruk nipis. Guratan-guratan pamor kian jelas. Dengan demikian, sebuah keris telah lahir. Memang, membuat keris seperti itu memakan waktu yang tak singkat. Dalam setahun, Ki Empu Djeno bisa menghasilkan dua keris. Puluhan keris bertuah telah dihasilkan oleh Empu Djeno. Hasil karyanya tersebar di seluruh penjuru dunia. Tak sedikit wisatawan mancanegara mengagumi hasil buah tangannya. Sebilah keris bisa bernilai hingga puluhan juta rupiah. Tapi, untuk memilikinya ada syarat-syarat tertentu. Ada keris untuk petani, orang muda, kerabat raja , dan raja. Menurut Empu Djeno hanya raja yang bisa memiliki semua keris. Kini, Empu Djeno menginjak umur 74 tahun. Tapi, putra bungsu yang mewarisi keahlian sang ayah Empu Supowinangun itu tetap menekuni profesi itu. Dia bertekad terus bergelut untuk melestarikan budaya yang tak ternilai itu. Umurnya Empu Djeno telah senja namun hasil ciptaannya tak akan terkikis oleh cakrawala zaman.TNA/Tim Potret* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
ciri ciri keris yang bertuah