TRIBUNJAMBICOM, JAKARTA- Presiden Pertama Indonesia, Ir. Soekarno disebut pernah bersembunyi di Masjid Al-Riyadh Kwitang bersama Habib Ali. Terutama saat zaman penjajahan Belanda. Masjid Al-Riyadh
Konon spritual dan pendidikan agama Soekarno didapat dari Habib Ali Kwitang. Habib Ali Kwitang juga melahirkan keturunan yang mumpuni secara keilmuan dan spiritual, almarhum Habib Abdurrahman bin Habib Ali Kwitang bin Habib Abdurrahman Cikini yang haul atau peringatan kematiannya ke 78 akan digelar pada hari Sabtu, tanggal 20 Januari 2018 di
Usulan Al Walid Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi atau Habib Ali Kwitang menjadi pahlawan nasional didukung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS).. Pasalnya, Habib Ali Kwitang memiliki peran besar dalam membangun jaringan para habaib dan ulama yang mendukung dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
MakaHabib Ali Kwitang memanggil Habib Ali Bungur dan juga Habib Salim bin Jindan untuk berkumpul di Majelis Kwitang. Setelah semuanya sudah kumpul, maka Habib Ali Kwitang bertanya kepada Habib Salim bin Jindan: "Ya iyed Salim, apakah iyed menjawab bahwa makan babi itu hukumnya boleh dan halal buat orang ini yang dia seorang muslim?"Lantas
MenurutPimpinan Majelis Taklim Habib Ali Kwitang, Habib Abdurahman Alhabsji (62), tiap Ahaad sekitar 20 ribu hingga 30 ribu kaum Muslimin dan Muslimat berdatangan ke majelis taklimnya. Belanda menghukum Thamrin dengan tahanan rumah justru setelah Soekarno berkunjung ke rumahnya. Dengan demikian, Thamrin menjadi tali penghubung (trait d
cara berbicara kepada setiap orang dalam setiap situasi. JAKARTA - Sebagai pewaris para nabi, ulama memiliki tugas untuk menyiarkan agama Islam. Ke hidupannya dibaktikan untuk menyampaikan pesan takwa kepada masyarakat. Sehingga, mereka memahami kebaikan dan keburukan. Dakwahnya menginspirasi masyarakat sekitar, menanamkan akhlak, ilmu, dan iman. Karena itu, para ulama telah banyak berperan dalam menyebarkan syiar Islam di belahan nusantara, termasuk di kalangan masyarakat Betawi di Ibu Kota Jakarta. Salah satu ulama yang berperan penting dalam penyebaran Islam di Betawi adalah Habib Ali Alhabsyi 1870-1968 di Kwitang. Selama hidupnya, Habib Ali kerap berdakwah di tengah ribuan orang yang haus akan spiritual. Beliau adalah pendiri dan pimpinan pertama Majelis Taklim Habib Ali Alhabsyi. Dalam buku Sumur yang tak Pernah Kering dijelaskan, sang alim telah banyak memberikan sumbangan pemikiran bagi kemajuan umat, bangsa, dan negara. Dia tampil sebagai cendekiawan yang tidak hanya dikenal di Indonesia, tapi juga di mancanegara. Kelahiran Nama lengkapnya adalah Ali bin Abdur rahman bin Abdullah bin Muhammad bin Husein Alhabsyi. Ulama keturunan Nabi Muhammad ini lahir pada 20 April 1869 M di Kampung Kwitang, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat. Habib Ali lahir dari pasangan Habib Abdurrahman dan Nyai Salmah, seorang putri kelahiran Meester Cornelis atau kawasan Jatinegara. Ayahnya, Habib Abdurrahman merupakan sahabat Habib Syekh bin Ahmad Bafaqih, seorang wali kutub yang dimakamkan di perkuburan Boyo Putih, Surabaya. Selain itu, Habib Abdurrahman juga merupakan sahabat sekaligus ipar dari Raden Saleh 1816-1880 M. Setelah bertahun-tahun menikah, Habib Abdurrahman dan Nyai Salmah belum juga diberi keturunan. Pada suatu waktu, Nyai Salmah kemudian bermimpi menggali sumur yang airnya melimpah ruah hingga membanjiri sekelilingnya. Lalu, diceritakanlah mimpi itu kepada sang suami. Setelah mendengar mimpi istrinya itu, Habib Abdurrahman langsung menceritakannya kepada Habib Syekh bin Ahmad Bafaqih. Kemudian, Habib Syekh menjelaskan, mimpi tersebut sebagai tanda akan la hirnya seorang putra yang saleh dan ilmunya akan melimpah ruah berikut keberkahannya. Tak lama kemudian, mimpi tersebut men jadi kenyataan. Nyai Salmah mengandung dan lahirlah seorang putra yang kelak akan menjadi tokoh berpengaruh, yaitu Habib Ali bin Adurrahman Alhabsyi. Habib Ali memiliki adik kandung bernama Habib Abdul Qadir Alhabsyi. Pada 1881, Habib Abdurrahman dipanggil oleh Allah. Saat itu Habib Ali baru menginjak usia 12 tahun. Sebelum wafat, Habib Abdurrahman sempat berwasiat kepada Nyai Salmah agar Habib Ali disekolahkan ke Hadramaut dan Makkah. Untuk mengirim putranya ke luar negeri, tentu membutuhkan biaya yang cukup be sar. Namun, Nyai Salmah tetap menunaikan wasiat dari suaminya tersebut. Untuk memberangkatkan Habib Ali ke Hadramaut, Nyai Salmah sampai menjual gelang perhiasan satu-satunya. Masa belajar Di usianya yang masih 12 tahun, Habib Ali pun berangkat ke Hadramaut atau Yaman Selatan. Kota pertama yang dikunjunginya adalah Sewun untuk berguru kepada Habib Abdurrahman bin Alwi al- Alaydrus. Saat di Hadramaut, Habib Alhabsyi tidak menyia-nyiakan waktu mudanya untuk menuntut ilmu. Berbagai tradisi keilmuan dilahapnya, seperti fikih, tafsir, sejarah, dan banyak lagi. Di samping itu, Habib Ali juga bekerja sebagai buruh penggembala kambing untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Dia berguru kepada seorang alim besar di Kota Boor, Habib Hasan bin Ahmad Alaydrus. Selain itu, Habib Ali juga belajar kepada cendekiawan yang buta, yaitu Habib Ahmad bi Hasan Alatas di Kota Huraidhoh. Banyak guru-guru lainnya yang mendidik Habib Ali selama di Hadramaut. Setelah belajar di Hadramaut, Habib Ali Kwitang kemudian melanjutkan pencarian ilmunya ke Tanah Suci Makkah dan Madinah. Di dua kota ini, dia belajar agama ke pada Mufti Makkah Imam Habib Husein bin Muhammad Alhabsyi, dan sejumlah ulama besar. Sebagai pencari ilmu, Habib Ali Kwitang tergolong murid yang cerdas. Dia memiliki kemampuan menghafal yang sa ngat tinggi. Setelah delapan tahun menun tut ilmu di Hadramaut dan Makkah, Habib Ali pun kembali ke Tanah Air untuk memulai tugas keulamaan, tepatnya pada 1889 M. Setiba di Tanah Air, Habib Ali Kwitang kembali menuntut ilmu kepada sejumlah ulama sehingga ilmu agama yang didapatkan dari luar dapat disesuaikan dengan kekhasan Islam yang ada di nusantara. Guru-gurunya di nusantara antara lain Habib Husein bin Muchsin Alatas dan Habib Usman bin Yahya, seorang Mufti yang berada di Jakarta. Habib Ali Kwitang juga menimba ilmu kepada sejumlah habib terkenal yang ada di Bogor, Pekalongan, Surabaya, Bangil, dan Bondowoso. BACA JUGA Update Berita-Berita Politik Perspektif Klik di Sini
- Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang jatuh pada 17 Agustus 1945, selain terjadi karena desakan golongan muda juga terjadi atas pertimbangan Ulama. Habib Ali Kwitang merupakan sosok yang menentukan tanggal dan waktu proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi atau akrab disapa Habib Ali Kwitang merupakan salah satu ulama berpengaruh dan disegani dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Petuah beliau menjadi pedoman sekaligus motivasi keberanian para pendiri bangsa untuk mengambil keputusan-keputusan besar penuh penuturan Ketua Umum Rabithah Alawiyah Habib Zein bin Umar Sumaith, Presiden Soekarno sebelum memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, terlebih dulu menemui Habib Ali Kwitang untuk meminta pendapat mengenai tanggal dan waktu yang tepat untuk membacakan Habib Ali Kwitang menentukan agar proklamasi dibacakan pada 17 Agustus 1945 dan bertepatan dengan 9 Ramadhan. Habib Ali Kwitang lahir pada 20 April 1869 di Kampung Kwitang, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat. Habib Ali lahir dari pasangan Habib Abdurrahman dan Nyai Salmah, seorang putri kelahiran Meester Cornelis atau kawasan Jatinegara. Ayahnya, Habib Abdurrahman merupakan sahabat Habib Syekh bin Ahmad Bafaqih, seorang wali kutub yang dimakamkan di pemakaman Boyo Putih, Surabaya. Selain itu, Habib Abdurrahman juga merupakan sahabat sekaligus ipar dari Raden Saleh 1816-1880 M.Ia juga pendiri dan pemimpin pertama Majelis Taklim Kwitang yang menjadi cikal-bakal pendirian organisasi keagamaan di Tanah Betawi dan ke Yaman hingga HaramainMengutip tulisan Pakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Al-Qur'an, Ustadz Miftah el-Banjary, Habib Ali Kwitang berangkat ke Hadramaut untuk belajar agama pada usia 12 tahun. Saat di Hadramaut, Habib Ali tidak menyia-nyiakan waktu untuk menuntut menempuh berbagai tradisi keilmuan untuk memperdalam khazanah keislaman seperti seperti fikih, tafsir, sejarah, dan banyak lagi. Di samping itu, Habib Ali juga bekerja sebagai buruh penggembala kambing untuk memenuhi kebutuhan berguru kepada seorang alim besar di Kota Bogor, Habib Hasan bin Ahmad Alaydrus. Selain itu, Habib Ali juga belajar kepada cendekiawan yang buta, yaitu Habib Ahmad bin Hasan Alatas di Kota guru-guru lainnya yang mendidik Habib Ali selama di Hadramaut. Setelah belajar di Hadramaut, Habib Ali Kwitang kemudian melanjutkan pencarian ilmunya ke Tanah Suci Makkah dan dua kota ini, dia belajar agama kepada Mufti Makkah Imam Habib Husein bin Muhammad Alhabsyi, dan sejumlah ulama besar. Sebagai pencari ilmu, Habib Ali Kwitang tergolong murid yang memiliki kemampuan hafalan yang sangat tinggi. Setelah delapan tahun menuntut ilmu di Hadramaut dan Makkah, Habib Ali pun kembali ke Tanah Air untuk memulai tugas keulamaan, tepatnya pada 1889 Ali Al-Habsyi juga berkesempatan ke Al-Haramain dan meneguk ilmu dari ulama di sana. Di antara gurunya di sana adalah Habib Muhammad bin Husain Al-Habsyi Mufti Makkah, Sayyid Abu Bakar Al-Bakri Syatha ad-Dimyati pengarang I'aanathuth Thoolibiin yang masyhur, Syeikh Muhammad Said Babsail hingga Syeikh 'Umar kembali ke Tanah Air, Habib Ali Kwitang terus melanjutkan rihlah keilmuan ke ulama-ulama ternama. Beliau pernah berguru kepada Habib Husein bin Muchsin Alatas dan Habib Usman bin Yahya, seorang Mufti yang berada di Jakarta. Habib Ali Kwitang juga menimba ilmu kepada sejumlah habib terkenal yang ada di Bogor, Pekalongan, Surabaya, Bangil, dan Bondowoso.jqf
habib ali kwitang dan soekarno